tulisan ini untuk sebagai prasyarat menjadi anggota peserta " meliput isu keberagaman "
yang di selenggarakan oleh serikat jurnalis keberagaman
“Segregasi Pemukiman
dan Pluralisme Beragama di AlangAsaudedanWaesala,Seram Barat Maluku”
Oleh: DewiyantiTomia_Lintas
IAIN Ambon
Dalam
bidang sosial,
segregasi merupakan upaya untuk saling memisahkan diri dan saling menghindar diantara
pihak-pihak yang bertikah dalam rangka mengurangi ketegangan dan menghilangkan
konflik; masing-masing pihak memisahkan diri dan saling menghindar dalam rangka
mengurangi ketegangan. Sementara dalam bidang geografi.Segregasi merupakan
suatu kelompok perumahan yang terpisah karena terjadi perbedaan sosial, ekonomi
dan kultural.
Kondisi
segregasi masyarakat di Maluku berdasarkan garis agama sesungguhnya bukan
fenomena yang baru. Pemerintah Colonial memberikan kontribusi cukup signifikan
untuk melahirkan kondisi segregasi agama untuk mempermudah kontrol mereka
terhadap masyrakat jajahan. Sejak dahulu dengan sangat mudah kita dapat mengidentifikasikan wilayah
geografis desa-desa Muslim maupun Kristen di Maluku. Seperti halnya Alang Asaude danWaesala, Seram Bagian Barat.
Alang Asaude dan Waesala merupakan daerah yang sangat berdekatan.Jarak antara kedua daerah ini hanya berkisar
15Km. Daerah ini dihuni oleh dua agama besar di Maluku (Islam dan
Kristen).AlangAsaudedihuniolehpenduduk yang memelukdua agama besar, yakni Islam
dan Kristen.SementarapendudukWaesalahanyaberagama Islam.
Masyarakat
WaesaladanAlangAsaude
adalah masyarakat yang majemuk. Kemajemukan masyarakatnya ditandai dengan ciri
heterogenitas budaya,
etnik dan agama dari penduduk yang mendiaminya.MasyarakatWaesalaadalahmasyarakatpendatang yang berasaldariberagametnis,
diantaranya Ternate, Buton, Bugis, Jawadan Ambon.SementarapendudukAlangAsaudeadalahpendatangdari
Ambon danseramsendiri.Keberagamanetnis di
daerahtersebutturutmempengaruhibudayasetempat.
Menurut
Leo Suryadinata, istilah
masyarakat majemuk sering digunakan untuk menyebut masyarakat multisuku dan
multi agama di negara-negara sedang berkembang. Pada satu sisi, kemajemukan
maluku seperti tergambar itu merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai, namun
pada sisi yang lain, pluralitas kultural tersebut memiliki potensi terjadinya
disintegrasi. Kemajemukan kultural (etnis dan agama) seringkali dijadikan alat untuk
memicu munculnya konflik Suku,
Agama, Ras dan Antar golongan (SARA).
Sejarahtelahmencatatbahwa, padatahun 1999 Maluku
telahmengalamikonflik yang cukupbesarkarenamengatasnamakan
agama.Konflikitubermuladarikota Ambon danmembiashinggakeWaesaladanAlangAsaude.
Namun, realitaskonflikitutidakselamanyamenunjukansisikonfliksaja.Implisit di
balikitu, sebenarnyaadakekuatan-kekuatan integrative sebagaibentukperlawananterhadaprealitaskonflik
yang adadansebagaiupayabertahanhidupdarikehancuran yang terjadi.Pascakonflik,
berbagaiupayatelahdilakukan demi
mendamaikanpertikainanantarumatberagamaini.mulaidari dialog
hinggasegregasipemukimanberdasar agama.
Segregasi
itupunterjadi di AlangAsaudeatas
dasar usaha pemisahan diri dalam hal mengurangi potensi pemicu terjadinya konflik.Dalamhalini, masyarakat Islam di
AlangAsaudeakhirnyamemisahkandiridenganmasyarakat yang beragama
Kristen.Merekamenyebarkedaerah-daerahislamterdekat, sepertiHanunu,
TatingdansalahsatunyaadalahWaesala. Sedangkanmasyarakat yang beragama Kristen
tetapmenetapdanmelakukanperluasanwilayah di
daerahtersebut.Artinyaadapemisahanantara agama Islam ddengan agama Kristen di
sini, yakniWaesalasebagaidaerah yang beragama Islam danAlangAsaudesebagaidaerah
Kristen
Walaupun
tersegregasi, Namun, pluralisme beragama di keduadaerah ini (Waesala dan
Alang Asaude) terlihat cukup jelas. Kejelasan pluralisme beragama di kedua
daerah ini dapat dilihat dari cara berinteraksi dan bersosialisai. Masyarakat
Islam di Waesala menghormati masyarakat Kristen di Alang Asaude, sebaliknya
masyarakat Kristen di Alang Asaude menghormati masyarakat Islam di Waesala.
Kedua daerah ini (Waesala dan Alang Asaude) saling mendukung dan menghargai baik
dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik maupun agama.
Orang
yang beragama Islam dapat melanjutkan sekolahnya di tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di Alang Asaude dan yang beragama Kristen dapat melanjutkan
sekolah di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Waesala. Masyarakat Alang Asaude dan Waesala juga
saling membantu satu sama lain. baik
dalam bidang sosial ekonomi, bekerja sama dalam persahabatan muda-mudi, dalam bidang politik
serta turut menghadiri dan menghargai perayaan-perayaan hari besar keagamaan.
Masyarakat kristen Alang Asaude biasaberkunjungke Waesala ketika harirayaIdul Fitri maupun Idul
Adha, sebaliknya masyarakat Islam Waesala biasabersilaturahhim ke Alang Asaude ketika
Natal. Sekalipundemikian, namuntetapadapemisahanantarakebiasaandenganhalintimdari
agama.Persoalan agama adalahhal yang
sakralsehinggatidakdapatdisatukandenganbudayaataukebiasaanmasyarakatsetempat.
Itu
sebabnya didalam buku “Prospek Pluralisme
Agama di Indonesia” dikatakan bahwa pluralisme beragama tidak sama dengan
mengatakan bahwa “semua agama adalah sama” juga berbeda sama sekali dengan yang
dimaksud merelatifkan agama. Dalam pluralisme agama, setiap orang diberi
kebebasan untuk percaya kepada dan menjalankan tradisi keagamannya yang menjadi
sumber kebaikan, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian, bukan sebaliknya.
Dalam pluralisme agama, orang diajak tidak hanya untuk menghormati agama lain
atau orang yang beragama lain, tetapi juga kesediaan untuk berlaku adil kepada
orang lain, menciptakan perdamaian dan saling menghormati.
Pluralisme
agama, tidak saja mengenai kuantitas atau kedaan penduduk Indonesia bahkanAlangASaudedanWaesala di Maluku.
Pluralisme agama terdiri dari latar belakang agama dan
etnis yang berbeda, tetapi mengandung makna, nilai, spiritualitas kehidupan,
sehingga bila menyebut “pluralisme agama” disana ada sesuatu yang dimaknai
secara substansial, ada hal yang yang mengandung way of life (jalanhidup) warga
masyarakat yang berbeda-beda dalam latar belakangnya. Seperti halnya masyarakat
Islam Waesala dan masyarakat Kristen Alang Asaude yang memiliki berbagai
perbedaan dari segi pengalaman, pemikiran (gagasan), adat dan budaya serta
pemukiman yang tersegregasi, semua itu merupakan jalan hidup.
Untukitu, istilah pluralisme
agama juga adalahsoal
keberbagaian dalam perbedaan yang
tidak statis, tetapi hidup dan menghidupkan, berkembang dan berada dalam proses
perubahan yang berlangsung di masyarakat. Pluralisme, yang daripadanya mengalir nilai-nilai untuk kepentingan
demokrasi, kepentingan keadilan dan perdamaian serta kesejarteraan hidup
masyarakat. Tiga
hal penting yang seharusnya menjadi dasar penghayatan agama oleh setiap orang
adalah toleran, moderat dan akomodatif.