Selasa, 10 Februari 2015

Pers Masih Tetap Sebagai Alat Perjuangan

Mengikuti perkembangan pers dari masa ke masa membuat saya sadar bahwa eksistensi suatu ideologi dalam bentuk parpol ataupun negara sekalipun tidak mungkin terlepas pisahkan dari peran pers. Tidak ragu saya berani mengatakan karena peran pers lah Republik Indonesia mampu berteriak “merdeka” dan menggema di seluruh dunia, Roso Daras dalam bukunya Total Bung Karno: Serpihan Sejarah yang Tercecer (Imania, 2013) menyatakan bahwa secara resmi Presiden Sukarno mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia ke luar negeri pada 23 Agustus 1945. Akan tetapi, sebelumnya Bung Karno sudah menugaskan Adam Malik[1], seorang wartawan yang juga berperan penting sebagai pemimpin gerakan bawah tanah, untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Adam Malik sehari-hari bekerja di Kantor Berita Domei kepunyaan Jepang. Jadi, ketika orang-orang Jepang pergi makan siang pada hari 17 Agustus itu, Adam Malik menggunakan pemancar gelombang pendek untuk menyampaikan kabar kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.

Keotentikan sejarah secara resmi yang menuturkan bagaiman pentinagnya pers pada era pra Revolusi dapat ditelusuri dari berbagai literatur sejarah yang bertebaran di berbagai perpustakaan, termasuk pada perpustakaan Nasional di Daerah. Sastri Sunarti melaporkan dalam bukunya Kajian Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an) berdasarkan katalog di bagian koran langka di Perpustakaan Nasional, diperoleh keterangan bahwa jumlah fisik surat kabar Sumatra Courant Nieuws Handels en Advertentieblad yang tersimpan di sana sebanyak 3 buah (yang berangka tahun 1863-1865) dan 24 buah (yang berangka tahun 1869-1892).

Memang pada awal kelahiran koran tersebut tidak secara langsung sebagai wadah perjuangan, sebab Belanda juga masih mempunyai kebijakan penuh pada saat itu. Koran tersebut lebih banyak mengutamakan berita-berita perdagangan dan periklanan yang mulai tumbuh pada masa itu, tetapi kemunculan koran-koran ini sejatinya sebagai pematik bara semangat juang di tahun-tahun berikut.


Mengacu pada hal tersebut di atas, senada dengan pengakuan pentingnya pers bagi eksitensi perjuangan dalam melawan rezim penindas, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) dalam beberapa karya terbaiknya mencoba menjelaskan relasi antara perjuangan melawan penjajah dengan menjadikan pers sebagai alatnya. Faktanya memang demikian, sokongan media dalam perjuangan Revolusi fisik di Indonesia sebelum dan mempertahankan kemerdekaan terus berlangsung. Tidak hanya Pramoedya, bahkan Achmad Setiyaji ketika menulis tentang Susno Duadji dengan judul bukunya Mereka Menuduh Saya (Galang Press, 2010) mengutip perkataan Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang ternyata takut kepada pers. Napoleon berkata, “saya lebih takut pers daripada 1000 bayonet yang terhunus”.

Seiring waktu, pers mengalami perubahan baik itu pengaruh teknologi maupun cara mempertahankan eksistensi pers tersebut. Jelas terlihat jika pers yang dulu dipahami produknya sebatas media cetak, sekarang produk pers dapat diakses melalui audio maupun audio visual. Perubahan pers dalam menjaga eksistensinya pun dilakukan dengan cara berbeda-beda, pers kerap kali dianggap negatif begitupun sebaliknya. Apakah benar pers memihak seiring kepentingan (ekonomi atau politik) demi menjaga eksistensinya? Pertanyaan ini akan saya bedah lebih dalam tentu dengan tidak memposisikan diri men-judgment lembaga pers mana yang paling ideal, atau menggugat hari pers yang sudah setiap tahun diperangati pada 9 Februari sejak tahun 1985 setelah resmi diberi SK oleh rezim Orde Baru pada saat itu. Saya hanya ingin terus menggugah optimisme pembaca bahwa pers masih dan selamanya akan berfungsi sebagai alat perjuangan, jika dalam medan tempur maka pers adalah senjata perjuangan. Pada kesempatan berikut nanti, saya akan mencoba membangun relasi bagaimana peran pers lewat produknya sebagai media pembelajaran yang baik? Tentu saya akan mengusung ide-ide perjuangan dari seorang pendidik sekaligus pejuang anti Neoliberalisme saat ia memilih media dan memulai proses belajar mengajar.

Saya sengaja tidak memilahkan Ekonomi dan Politik, saya yakin bahwa pembaca baik di kalangan pers maupun bukan, pasti memahami maksud saya menulis yang demikian sebab saya termasuk yang meyakini bahwa Ekonomi pada dasarnya saling berkelindan dengan Politik dalam gerak sejarah pada masa lampau, sekarang, dan akan datang.[2] Galibnya pemahaman kita pada awal-awal Revolusi Indonesia dan pasca Revolusi, banyak gerakan-gerakan besar lahir akibat dari propaganda pers yang sangat maksimal. Sejumlah pers dengan produk surat kabarnya pada saat itu sangat berapi-api dalam menyulut semangat juang kemerdekaan Republik Indonesia, bahkan setiap gerakan perjuangan suatu kelompok pasti memiliki relasi dengan salah satu surat kabar entah kesamaan ideologi maupun sekedar merasa senasib sebagai bangsa besar tapi terjajah. Sebut saja Medan-Prijaji dan Fikiran Ra’jat dalam skala nasional pada saat itu. Medan-Prijaji lebih condong memuat tulisan-tulisan tokoh beraliran Komunis, sementara Fikiran Ra’jat[3] banyak memuat tulisan Sukarno sebagai tokoh Nasionalis.

Sementara untuk wilayah luar pulau Jawa, di Minangkabau sudah ada surat kabar dan majalah yang berbasis Agama yaitu majalah al-Moenir (1911). Berbasis Ideologi Politik yaitu surat kabar “Panas”, “Soeara Momok”, “Berito”, “Dempo Bergerak”, “Djago-djago”, “Djambret”, dan majalah “Boedi Tjaniago” (tahun 1920-an). Bahkan berbasis Jender dengan surat kabar “Soenting Melajoe” (1912-1920) dan “Soeara Perempoean” (1918).[4] Pendek kata, pada masa itu media cetak adalah satu-satunya sarana propaganda paling masif untuk melawan rezim Belanda.

Sekarang pers tetap menjadi senjata perjuangan, tetapi amunisinya banyak yang hampa. Bergantung pada situasi pengamanan di lapangan, jika darurat baru kemudian diisi dengan timah panas. Mulai dari senjata kelas FN sampai SS1, semuanya nyaris sama. Terkesan berlebihan perumpaan yang saya sampaikan, tetapi sebagai pembaca, pendengar, dan sekaligus pemirsa, merupakan hal yang wajar ketika saya mengambil umpama seperti itu. Dari geliat media cetak, elektronik, dan online, kita tak bisa menampik adanya fakta pemberitaan yang mendukung para tokoh yang juga merupakan politisi dari partai tertentu. Sekali lagi, hal ini wajar saja. Media “A” tentu memiliki keyakinan bahwa tokohnya lah yang paling layak menjadi pemimpin, sementara tokoh yang lain tidak. Begitupun sebaliknya di media “B”, apalagi tokoh itu merupakan pemimpin atau paling tidak menjadi bagian di salah satu media.

Relasi ini akan terus berlanjut, tanpa henti-hentinya sebab memang ––meminjam kalimat kawan saya–– dunia tidak terlepas dari ruang hampa politik. Meski begitu, saya tetap yakin objektifitas pembaca, pendengar, dan pemirsa tentu berangkat dari bagaimana cara mereka melihat dan meyakini berita tersebut. Bagi yang mendukung dengan segala asumsi dan dasar pengetahuannya, pasti akan setuju dan mengatakan “media inilah yang paling baik”. Sementara yang tidak, mungkin reaksinya akan seperti diuraikan Agus Sudibyo dalam judul bukunya 50 Tanya-Jawab tentang Pers (KPG, 2013) bahwa Mereka menganggap pers sebagai musuh. Mereka alergi terhadap wartawan. Secara apriori dan tanpa referesnsi, mereka gemar melontarkan pernyataan seperti berikut: “Kebebasan Pers telah kebablasan”, “Media melakukan tirani opini”, “Wartawan menjadi provokator”, “Pers semakin kreatif dalam memfitnah”, dan seterusnya. Bahkan tidak jarang mereka melakukan teror atau kekerasan terhadap wartawan.[5]

Keberpihakan pers lewat media dalam ranah politik tentu berdampak pada produknya, baik untuk media cetak, elektronik, maupun online. Media tersebut bisa dipastikan memiliki asupan dana dari tokoh yang diusungnya, paling minimal iklan yang dicetak, diperdengarkan, atau ditayangkan. Sehingga akseptabilitas informasi sebuah pers lewat medianya tidak harus dimasukan dalam satu sudut pandang dan kemudian memvonisnya sebagai sesuatu yang tak bermutu, sebab itu bukan klaim yang akan sejalan dengan keyakinan penikmat berita lainnya. Sebagaimana pesan pesimistis Sunardian Wirodono lewat judul bukunya Matikan TV-Mu (Resist Book, 2005) bisa kita telaah dengan cara pandang yang berbeda. Dengan demikian, sebagai sebuah lembaga yang diisi oleh orang-orang dengan wawasan yang luas tetapi tidak spesifik ––sebab memang jurnalis adalah seorang Generalis–– maka jurnalis pun tidak mungkin akan selamanya berlakon sebagai seorang yang netral/indepeden dalam ruang dan waktu yang kian menyeret mereka secara sadar ataupun tidak ke arah kepentingan Ekonomi-Politik kaum kapitalis serakah. Meski demikian, saya tetap optimis dan menaruh harapan besar pada media sebagai senjata perjuangan yang efektif kini dan nanti.
=====================


Footnote:
[1] Adam Malik (1917-1984), Menteri Indonesia pada beberapa Departemen, antara lain ia pernah menjabat      menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia yang ketiga.
 [2] Kapitalisme dengan pisau analisa Rasionalisasinya yang membedakan Ekonomi dan Politik dalam ruang terpisah, dalam perkembangan ilmu pengetahuan memang harus ada demarkasi. Namun pada saat berbicara soal penindasan sistemik, maka sebuah keharusan Ekonomi & Politik digabungkan menjadi Ekopol.
 [3] Dapat ditelusuri dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (DBBR), kumpulan tulisan Bung Karno yang dimulai sejak tahun 1926 dalam Fikiran Ra’jat dengan judul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
 [4] Sastri Sunarti, Kajian Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an), KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2013, hlm. 207-221.
 [5] Agus Sudibyo, 50 Tanya-Jawab tentang Pers, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2013, hlm. 43.

 tentang penulis dapat dilihat di :Tentang Pnenulis : Arman Kalean Songsin




0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak kata mu Sobat Lintas,
salam ...