![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEir0qIQezLshIp6jdc5G2pRrxqk1aWtYY32gb4w9cOMYqd0pmmbITJunSyyq-PgOEXflb7cONT6yr4KjE4ecuOTbvpJQZU0__WDsBwSx-f4-GAEzfEIXOzV8CUSQAw5ms3apt1mDHGlcHR3/s1600/perkembangan-pers-indonesia.jpg)
Keotentikan sejarah secara resmi yang menuturkan
bagaiman pentinagnya pers pada era pra Revolusi dapat ditelusuri dari berbagai
literatur sejarah yang bertebaran di berbagai perpustakaan, termasuk pada
perpustakaan Nasional di Daerah. Sastri Sunarti melaporkan dalam bukunya Kajian
Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan
Awal di Minangkabau (1859-1940-an) berdasarkan katalog di bagian koran
langka di Perpustakaan Nasional, diperoleh keterangan bahwa jumlah fisik surat
kabar Sumatra Courant Nieuws Handels en Advertentieblad yang tersimpan
di sana sebanyak 3 buah (yang berangka tahun 1863-1865) dan 24 buah (yang
berangka tahun 1869-1892).
Memang pada awal kelahiran koran tersebut tidak
secara langsung sebagai wadah perjuangan, sebab Belanda juga masih mempunyai
kebijakan penuh pada saat itu. Koran tersebut lebih banyak mengutamakan
berita-berita perdagangan dan periklanan yang mulai tumbuh pada masa itu,
tetapi kemunculan koran-koran ini sejatinya sebagai pematik bara semangat juang
di tahun-tahun berikut.
Mengacu pada hal tersebut di atas, senada dengan
pengakuan pentingnya pers bagi eksitensi perjuangan dalam melawan rezim penindas,
Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) dalam beberapa karya terbaiknya mencoba
menjelaskan relasi antara perjuangan melawan penjajah dengan menjadikan pers
sebagai alatnya. Faktanya memang demikian, sokongan media dalam perjuangan
Revolusi fisik di Indonesia sebelum dan mempertahankan kemerdekaan terus
berlangsung. Tidak hanya Pramoedya, bahkan Achmad Setiyaji ketika menulis
tentang Susno Duadji dengan judul bukunya Mereka Menuduh Saya (Galang
Press, 2010) mengutip perkataan Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang ternyata
takut kepada pers. Napoleon berkata, “saya lebih takut pers daripada 1000
bayonet yang terhunus”.
Seiring waktu, pers mengalami perubahan baik itu
pengaruh teknologi maupun cara mempertahankan eksistensi pers tersebut. Jelas
terlihat jika pers yang dulu dipahami produknya sebatas media cetak, sekarang
produk pers dapat diakses melalui audio maupun audio visual. Perubahan pers
dalam menjaga eksistensinya pun dilakukan dengan cara berbeda-beda, pers kerap
kali dianggap negatif begitupun sebaliknya. Apakah benar pers memihak seiring
kepentingan (ekonomi atau politik) demi menjaga eksistensinya? Pertanyaan ini
akan saya bedah lebih dalam tentu dengan tidak memposisikan diri men-judgment
lembaga pers mana yang paling ideal, atau menggugat hari pers yang sudah setiap
tahun diperangati pada 9 Februari sejak tahun 1985 setelah resmi diberi SK oleh
rezim Orde Baru pada saat itu. Saya hanya ingin terus menggugah optimisme
pembaca bahwa pers masih dan selamanya akan berfungsi sebagai alat perjuangan,
jika dalam medan tempur maka pers adalah senjata perjuangan. Pada kesempatan
berikut nanti, saya akan mencoba membangun relasi bagaimana peran pers lewat
produknya sebagai media pembelajaran yang baik? Tentu saya akan mengusung
ide-ide perjuangan dari seorang pendidik sekaligus pejuang anti Neoliberalisme
saat ia memilih media dan memulai proses belajar mengajar.
Saya sengaja tidak memilahkan Ekonomi dan
Politik, saya yakin bahwa pembaca baik di kalangan pers maupun bukan, pasti
memahami maksud saya menulis yang demikian sebab saya termasuk yang meyakini
bahwa Ekonomi pada dasarnya saling berkelindan dengan Politik dalam gerak
sejarah pada masa lampau, sekarang, dan akan datang.[2] Galibnya pemahaman kita
pada awal-awal Revolusi Indonesia dan pasca Revolusi, banyak gerakan-gerakan
besar lahir akibat dari propaganda pers yang sangat maksimal. Sejumlah pers
dengan produk surat kabarnya pada saat itu sangat berapi-api dalam menyulut
semangat juang kemerdekaan Republik Indonesia, bahkan setiap gerakan perjuangan
suatu kelompok pasti memiliki relasi dengan salah satu surat kabar entah
kesamaan ideologi maupun sekedar merasa senasib sebagai bangsa besar tapi
terjajah. Sebut saja Medan-Prijaji dan Fikiran Ra’jat
dalam skala nasional pada saat itu. Medan-Prijaji lebih condong memuat
tulisan-tulisan tokoh beraliran Komunis, sementara Fikiran Ra’jat[3] banyak
memuat tulisan Sukarno sebagai tokoh Nasionalis.
Sementara untuk wilayah luar pulau Jawa, di
Minangkabau sudah ada surat kabar dan majalah yang berbasis Agama yaitu majalah
al-Moenir (1911). Berbasis Ideologi Politik yaitu surat kabar “Panas”, “Soeara
Momok”, “Berito”, “Dempo Bergerak”, “Djago-djago”, “Djambret”, dan majalah
“Boedi Tjaniago” (tahun 1920-an). Bahkan berbasis Jender dengan surat kabar
“Soenting Melajoe” (1912-1920) dan “Soeara Perempoean” (1918).[4] Pendek kata,
pada masa itu media cetak adalah satu-satunya sarana propaganda paling masif
untuk melawan rezim Belanda.
Sekarang pers tetap menjadi senjata perjuangan,
tetapi amunisinya banyak yang hampa. Bergantung pada situasi pengamanan di
lapangan, jika darurat baru kemudian diisi dengan timah panas. Mulai dari
senjata kelas FN sampai SS1, semuanya nyaris sama. Terkesan berlebihan
perumpaan yang saya sampaikan, tetapi sebagai pembaca, pendengar, dan sekaligus
pemirsa, merupakan hal yang wajar ketika saya mengambil umpama seperti itu.
Dari geliat media cetak, elektronik, dan online, kita tak bisa
menampik adanya fakta pemberitaan yang mendukung para tokoh yang juga merupakan
politisi dari partai tertentu. Sekali lagi, hal ini wajar saja. Media “A” tentu
memiliki keyakinan bahwa tokohnya lah yang paling layak menjadi pemimpin,
sementara tokoh yang lain tidak. Begitupun sebaliknya di media “B”, apalagi
tokoh itu merupakan pemimpin atau paling tidak menjadi bagian di salah satu
media.
Relasi ini akan terus berlanjut, tanpa
henti-hentinya sebab memang ––meminjam kalimat kawan saya–– dunia tidak
terlepas dari ruang hampa politik. Meski begitu, saya tetap yakin objektifitas
pembaca, pendengar, dan pemirsa tentu berangkat dari bagaimana cara mereka
melihat dan meyakini berita tersebut. Bagi yang mendukung dengan segala asumsi
dan dasar pengetahuannya, pasti akan setuju dan mengatakan “media inilah yang
paling baik”. Sementara yang tidak, mungkin reaksinya akan seperti diuraikan
Agus Sudibyo dalam judul bukunya 50 Tanya-Jawab tentang Pers (KPG,
2013) bahwa Mereka menganggap pers sebagai musuh. Mereka alergi terhadap
wartawan. Secara apriori dan tanpa referesnsi, mereka gemar melontarkan
pernyataan seperti berikut: “Kebebasan Pers telah kebablasan”, “Media melakukan
tirani opini”, “Wartawan menjadi provokator”, “Pers semakin kreatif dalam
memfitnah”, dan seterusnya. Bahkan tidak jarang mereka melakukan teror atau
kekerasan terhadap wartawan.[5]
Keberpihakan pers lewat media dalam ranah politik
tentu berdampak pada produknya, baik untuk media cetak, elektronik, maupun online.
Media tersebut bisa dipastikan memiliki asupan dana dari tokoh yang diusungnya,
paling minimal iklan yang dicetak, diperdengarkan, atau ditayangkan. Sehingga
akseptabilitas informasi sebuah pers lewat medianya tidak harus dimasukan dalam
satu sudut pandang dan kemudian memvonisnya sebagai sesuatu yang tak bermutu,
sebab itu bukan klaim yang akan sejalan dengan keyakinan penikmat berita lainnya.
Sebagaimana pesan pesimistis Sunardian Wirodono lewat judul bukunya Matikan
TV-Mu (Resist Book, 2005) bisa kita telaah dengan cara pandang yang
berbeda. Dengan demikian, sebagai sebuah lembaga yang diisi
oleh orang-orang dengan wawasan yang luas tetapi tidak spesifik ––sebab memang
jurnalis adalah seorang Generalis–– maka jurnalis pun tidak mungkin akan
selamanya berlakon sebagai seorang yang netral/indepeden dalam ruang dan waktu
yang kian menyeret mereka secara sadar ataupun tidak ke arah kepentingan Ekonomi-Politik
kaum kapitalis serakah. Meski demikian, saya tetap optimis dan menaruh harapan
besar pada media sebagai senjata perjuangan yang efektif kini dan nanti.
=====================
Footnote:
[1] Adam Malik (1917-1984), Menteri Indonesia
pada beberapa Departemen, antara lain ia pernah
menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga
pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia yang ketiga.
[2] Kapitalisme dengan pisau analisa
Rasionalisasinya yang membedakan Ekonomi dan Politik dalam ruang terpisah,
dalam perkembangan ilmu pengetahuan memang harus ada demarkasi. Namun pada saat
berbicara soal penindasan sistemik, maka sebuah keharusan Ekonomi & Politik
digabungkan menjadi Ekopol.
[3] Dapat ditelusuri dalam buku Di Bawah
Bendera Revolusi (DBBR), kumpulan tulisan Bung Karno yang dimulai sejak tahun
1926 dalam Fikiran Ra’jat dengan judul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
[4] Sastri Sunarti, Kajian Lintas Media:
Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau
(1859-1940-an), KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2013, hlm.
207-221.
[5] Agus Sudibyo, 50 Tanya-Jawab
tentang Pers, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2013, hlm. 43.
tentang penulis dapat dilihat di :Tentang Pnenulis : Arman Kalean Songsin
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak kata mu Sobat Lintas,
salam ...