Rabu, 31 Desember 2014

Jumat, 05 Desember 2014

Komisariat HMI Fakultas USWAH, Gelar Raker

LINTAS IAIN - Komisariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah (Uswah) Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon gelar  Rapat Kerja (Raker) di pantai Liang Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) Provinsi Maluku, Sabtu (23/11).  Raker tersebut di ikuti 18 anggota komisariat HMI Fakultas Uswah IAIN Ambon.

Sekolah Untuk Anak Jalanan

LINTAS  - Melihat banyaknya anak-anak jalanan di Kota Ambon yang tidak menempuh pendidikan karena kertebatasan ekonomi, mengetuk hati Arif Rumbou dan beberapa rekannya  untuk membentuk  komunitas bernama Sekolah Jalanan.  Alhasil sejak dibentuk September lalu, komunitas ini memberikan proses pendidikan kepada 30 anak kurang mampu.

Komunitas Sekolah Jalanan terbentuk dari gagasan  sekolompok mahasiswa dari tiga perguruan tinggi di Maluku, diantaranya Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, Universitas Darusalam dan Universitas Pattimura (Unpatti) dengan tujuan untuk membina, mendidik, anak-anak yang kesehariannya hidup di jalanan

Tak seperti dengan sekolah- sekolah lainya, memiliki infasturuktur yang memadai.  Demi memberikan pendidikan kepada anak-anak itu, Komunitas tersebut memanfaatkan trotoar di sekitar jalan Pantai Losari Kota Ambon sebagai  tempat proses belajar mengajar, tak jarang  asap dari  kendaraan roda dua dan empat menghampiri mereka. Kondisi itu tak mengurangi semangat anak- anak itu.  Kecerian selalu terlihat dari wajah kusam anak kurang mampu tersebut untuk  mengikuti proses belajar tersebut.

"Sebagian siswa yang diajar oleh komunitas ini  berstatus, SMP, SD. Karena keterbatasan biaya sehinga mereka tidak melanjutkan  sekolah, akibatnya mereka membantu orang tua dengan menjual tas kresek (red - kantung plastik). Orang tua mereka sangat bersyukur dengan hadirnya komunitas ini" Ujar Arif Rombou saat di temui Lintas IAIN Ambon usai mengajar kepada anak-anak itu. Mingu (16/11).  

Menurut Rumbou,  pendidikan sangat penting bagi regenerasi  penerus bangsa, karena dengan pendidikanlah  bisa menjadikan generasi muda dapat mengenal jati diri bangsa. Lanjut dia  apa yang terjadi kepada puluhan anak itu merupakan potret pendidikan Indonesia yang memperihantikan. Sekolah gratis yang dicanangkan pemerintah, hanya menjadi program politik. Dimana masi banyak-banyak anak yang tidak menempuh pendidikan  karna keterbatasan ekonomi. "Kami hadir untuk merubah kehidupan anak jalanan agar kedepannya lebih baik lagi, kemudian dapat mewarnai negeri ini dan membanggakan kedua orang tua, maupun bangsa Indonesia," ujarnya

Ia mengharapkan pemerintah mengutamakan penyiapan lokasi serta anggaran untuk menyeratakan pembangunan lembaga pendidikan di kota maupun desa terpencil, yang hingga dewasa ini masi minim sarana maupun pra-sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan, terutama di Maluku."Saya berharap pemerintah agar  turun kejalan melihat anak-anak kurang mampu untuk di berikan pendidikan yang layak," harap dia***

Bacaan Gratis Di Lapangan Merdeka

LINTAS - KOTA Ambon. Ambon Manise. Siapa yang tak mengenal kota ini. Kota yang sudah melegenda, bukan hanya di Indonesia, tapi di belahan dunia. Selain menjadi kota sejarah pra kemerdekaan, Kota Ambon lebih laris dikenal sebagai 'Kota Manise'. Ambon memang manis. Itu dulu. Dahulu, Kota Ambon paling laris di mata wisatawan. Baik di Indonesia, maupun di dunia. Kota Ambon kemudian menjadi gelap. Gelap lantaran dilanda konflik kemanusiaan 1999. Bukan cerita konflik 1999. Di sini, kami menelusuri jejak lokasi yang masih eksis di masyarakat. Lapangan Merdeka. Sebelum itu, lapangan Merdeka lebih dikenal dengan nama Lapangan Segitiga. Nama ini dicetus oleh mendiang mantan Gubernur Maluku, Slamet.

Di bawah pepohonan sudut lapangan itu, nampak enam orang perempuan  berkerudung  yang sibuk manata buku-buku bacaan di atas sebuah tikar berukuran 1x1 m. Mata para pengunjung terlihat memplototi gadis-gadis berkerudung  tersebut. Mereka akrab dengan siapapun. Bukan karena mencari sensasi. Mereka rela membawa tumpukan buku koleksi yang mereka miliki  untuk dipajang kepada pembaca. Gratis. "Buku ini dijual atau tidak?", tanya seorang gadis . "Seng (tidak) dijual. Nona (gadis), baca gratis," jawab gadis berkerudung tersebut.

Nampaknya gadis-gadis berkurudung itu sedang melakukan kegiatan membaca bersama secara gratis (Taman baca) di lapangan Merdeka Kota Ambon, Minggu (23/11).Gadis -gasi berkerudung   tersebut  tergabung dalam komunitas berjuluk Agen Smesta.  Komunitas berdiri belum lama ini bertujuan untuk mengajak pemuda Kota Ambon agar lebih giat  membaca.

Yuni (25) yang tergabung di komunitas itu  menyatakan Agen Semesta terbentuk untuk  meningkatkan minat baca pemuda Kota Ambon yang sekarang ini, masi minim membaca. Melihat kondisi ini, ia bersama rekanya yang memiliki hobi membaca,  berkeinginan membuka lapak  buku (Taman baca)  yang diberentungkan untuk umum. "Kami hadir untuk menyarankan mulai dari sekarang  pemuda agar sedikit demi sedikit meningkatkan minat baca kita,"  kata perempuan berkacamata itu.

Yuni menjelaskan terbentuknya Agen Smesta berawal dari obrolan akun media sosial Facebook bersama rekan-rekanya yang prihatin dengan kondisi pemuda Kota Ambon Minim membaca. Dari obrolan itu, mereka berkeinginan koleksi buku yang mereka miliki bisa bermanfat bagi masyarakat. Dari hasil di obrolan itu, munculah ide untuk membuka lapak buku, untuk di baca secara gratis oleh masyarakat.
"Kegiatan baca gratis ini merupakan yang pertama. Buku-buku yang kami pajang,merupakan buku non fiksi dan fiksi," kata sarjana perguruan tinggi  Kota Ambon itu.

Ia mengatakan jangka pendek untuk pengembangan  lapak buku baca gratis ini, akan dilakukan  sebulan sekali. Sedangkan kedepan ia bersama rekan-rekanya berkeinginan mempunyai bangunan lapak buku yang tetap, guna pengujung bisa menikmati rasa nyaman saat membaca buku. Selain itu, dengan memilki bangunan yang tetap kegiatan seperti beda buku akan rutin dilakukan."Saya berharap pemuda agar lebih giat membaca demi meningkatkan minat baca di kota Ambon," harap dia ***

HMJ AF Gelar Seminar Sehari

Lintas_IAIN Ambon. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Aqidah Filsafat (AF) Fakultas Usuluddin Dakwah IAIN Ambon  menggelar Seminar Sehari,  bertemakan “Khilafah Islamiah dan Upaya Membangun Pola Pikir Mahasiswa IAIN Ambon” di gedung Fakultas Ushwah. Rabu (19/11).  Seminar tersebut dibuka oleh Wakil Dekan I Fakultas Dakwah dan Ushuluddin. Hj Duriana. (13/11-2014).
Kegiatan itu menghadirkan pemateri diantaranya  Drs. Noer Tawainela (Dosen dan Budayawan) dan Baco Sarluf (Ketua Jurusan Aiqidah Filsafat).

Hj. Duriana dalam sambutanya mengatakan tema kegiatan tersebut merupakan bentuk keperhatinan kepada Indonesia yang mengalami krisis kepemimpinan. Hal ini terbukti dengan banyaknya kepala-kepala daerah di Indonesia yang melakukan tindakan korupsi.  "Mahasiswa IAIN Ambon merupakan  calon pemimpin, saya berharap dengan kegiatan ini bisa menambah wawasan mahasiswa terkait  kepemimpinan yang amanah," harapnya

Selain itu ketua HMJ AF Anin Lihi,mengatakan tujuan diadakan seminar ini dalam rangka membangun jiwa kepimimpinan, kecerdasan dalam berbagai aspek keilmuan dan menjalin hubungan baik antara HMJ lingkup kampus IAIN Ambon."Semoga dengan kegiatan ini menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk menjadi pemimpin," harap dia (Zulkarmain).

Pengunjung Perpustakaan IAIN Ambon Meningkat 80 persen

LINTAS IAIN -  Menjelang Akhir Tahun ini, minat baca mahasiswa Insititut Agam Islam Negeri (IAIN) menunjukan peningkatan. Hal ini terlihat dari banyaknya mahasiswa yang mengujungi perpustakaan IAIN Ambon hingga meningkat 80 persen di badingkan tahun lalu. 

Demikian di sampaikan Staf Pegawai perpustakaan IAIN Ambon Sam Basta saat di temui ruang kerjahanya, Senin (24/11).  "Tahun ini mahasiswa yang mengujungi perpustakaan meningkat 80 persen," kata dia

Menerutnya  mahasiswa sudah menyadari begitu pentingnya bahwa , buku merupakan kebetuhan utama mahasiswa dalam menjalani proses di perguruan tinggi. "Sesuai dengan data kami   Pengujung perpustakaan selalu didominasi mahasiswa fakultas Tarbiyah disusul Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Terakhir  Usuluddin Dan Dakwah," Kata dia.***

IAIN Ambon Lepas 701 Mahasiswa Kukerta

Photo: Ismail Hehanusa
LINTAS IAIN-Tercacat 701 Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (Kukerta)   Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon secara resmi diterjunkan kemasyakrat di untuk mengukuti Kuliah Kerja Nyata (Kukerta) Integrasi  elama empat bulan lamanya. Pelepasan  tersebut berlasung di Gedung Olahraga (Gor) IAIN Ambon, Senin (24/11). Wakil Rektor Bidang Kemahasiswan dan Kerjasama IAIN Ambon Ismail Rumadan Secara resmi melepas Mahaiswa Kurikerta tersebut.

KKN integrasi IAIN Ambon yang digadang LP2M di pusatkan di Kota Ambon, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBT) dan Kabupaten Maluku Tengah (Malteng).

Dalam sambutanya Warek Bidang kemahasiswaan dan kerjasama IAIN Ambon Ismail Rumadan mengatakan mahasiswa  harus memberikan perubahan dalam lingkungan masyarakat selama melaksanakan kukerta. Dimana mahasiswa di tuntut untuk mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh di dalam dunia perkuliahan untuk  di praktekan saat mengabdi kemasyarakat. "Mahasiswa  harus pro aktif dalam kegiata-kegiatan sosial di lokasi kurikerta," ujar dia.

Menerutnya kukerta integrasi merupakan sesuatu tatangan baru  bagi mahasiswa untuk mengabdi kepada masyarakat.  Kukerta ini merupakan gabungan Praktek Pengajar Lapangan(PPL) dan Magang. kata dia  mahasiswa IAIN Ambon mempunyai perbedaan dengan mahasiwa perguruan tinggi yang lain. alasanya mahasiswa IAIN Ambon di bekali dengan ilmu agama  pada proses perkuliahan Untuk itu, mahasiswa harus menunjukan kreaktifitasnya sesuai dengan jurusanya  dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat."Saya berharap mahasiswa kurikerta pada tahun harus membawa IAIN ambon Lebih baik di mata masyarakat,"harap dia.

Pelepasan tersebut di tandai dengan pemasangan atribut Seperti pemasangan topi KKN oleh Warek Bidang Kemahasiswan dan Kerjasama Ismail Rumadan.  Sebelumya Mahsiswa Kurikerta tersebut mengukuti pembekalan selama empat hari lamanya, dimulai sejak 18-20 November lalu, yang berlasung di GOR, IAIN Ambon***

Satpam Lemah, Mahasiswa Berpakaian di Luar Tata Tertib

LINTAS IAIN-Wakil Rektor  Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Ismail Rumadan menilai satuan pengamanan (satpam) IAIN ambon lemah dalam menerapkan tatatertib berpakaian kepada mahasiswa. Akibatnya banyak mahasiswa didapatkan masuk dalam kampus  berpakain tidak sesuai dengan peraturan akademik.

Demikian ungkapkan Warek bidang kemahasiswaan dan kerjasama Ismail Rumadan Saat di wawancarai di ruang kerjanya. Senin (24/11). "Mahasiswa berpakain tidak sesuai dengan tatatertib tidak di perbolehkan masuk kampus, tapi belakangan ini banyak mahasiswa yang saya dapatkan  di gedung di rektorat mengunakan Anting-anting , celana sobek bagi laki-laki dan perempuan mengunakan celana panjang (Jiens), ini mendakan satpam lemah dalam menegakan peraturan kepada mahasiswa," ujar dia.

Ia menambahkan dalam  Waktu dekat ini, akan turun-turun ke masing-masing fakultas untuk memberitahukan kepada dekan-dekan agar lebih menjaga segi penampilan mahasiswa yang tidak sesuai dengan peraturan sekaligus suiping kepada mahasiswa yangm melangar tata tertib."Saya akan trun lasung di masing-masing fakultas, bagi mahasiswa yang kedapatan akan di keluarkan dari kampsu untuk tidak mengukuti proses perkuliahan sebelum berpakaian sesuai dengan tata tertib." Tegas dia ***

.

Kamis, 13 November 2014

KARYA JURNALISTIK


tulisan ini untuk sebagai prasyarat menjadi anggota peserta  " meliput isu keberagaman "
yang di selenggarakan oleh serikat jurnalis keberagaman

“Segregasi Pemukiman dan Pluralisme Beragama di AlangAsaudedanWaesala,Seram Barat Maluku”
Oleh: DewiyantiTomia_Lintas IAIN Ambon



Dalam bidang sosial, segregasi merupakan upaya untuk saling memisahkan diri dan saling menghindar diantara pihak-pihak yang bertikah dalam rangka mengurangi ketegangan dan menghilangkan konflik; masing-masing pihak memisahkan diri dan saling menghindar dalam rangka mengurangi ketegangan. Sementara dalam bidang geografi.Segregasi merupakan suatu kelompok perumahan yang terpisah karena terjadi perbedaan sosial, ekonomi dan kultural.
Kondisi segregasi masyarakat di Maluku berdasarkan garis agama sesungguhnya bukan fenomena yang baru. Pemerintah Colonial memberikan kontribusi cukup signifikan untuk melahirkan kondisi segregasi agama untuk mempermudah kontrol mereka terhadap masyrakat jajahan. Sejak dahulu dengan sangat mudah kita dapat mengidentifikasikan wilayah geografis desa-desa Muslim maupun Kristen di Maluku. Seperti halnya Alang Asaude danWaesala, Seram Bagian Barat.
Alang Asaude dan Waesala merupakan daerah yang sangat berdekatan.Jarak antara kedua daerah ini hanya berkisar 15Km. Daerah ini dihuni oleh dua agama besar di Maluku (Islam dan Kristen).AlangAsaudedihuniolehpenduduk yang memelukdua agama besar, yakni Islam dan Kristen.SementarapendudukWaesalahanyaberagama Islam.
Masyarakat WaesaladanAlangAsaude adalah masyarakat yang majemuk. Kemajemukan masyarakatnya ditandai dengan ciri heterogenitas budaya, etnik dan agama dari penduduk yang mendiaminya.MasyarakatWaesalaadalahmasyarakatpendatang yang berasaldariberagametnis, diantaranya Ternate, Buton, Bugis, Jawadan Ambon.SementarapendudukAlangAsaudeadalahpendatangdari Ambon danseramsendiri.Keberagamanetnis di daerahtersebutturutmempengaruhibudayasetempat.
Menurut Leo Suryadinata, istilah masyarakat majemuk sering digunakan untuk menyebut masyarakat multisuku dan multi agama di negara-negara sedang berkembang. Pada satu sisi, kemajemukan maluku seperti tergambar itu merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai, namun pada sisi yang lain, pluralitas kultural tersebut memiliki potensi terjadinya disintegrasi. Kemajemukan kultural (etnis dan agama) seringkali dijadikan alat untuk memicu munculnya konflik Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA).
Sejarahtelahmencatatbahwa, padatahun 1999 Maluku telahmengalamikonflik yang cukupbesarkarenamengatasnamakan agama.Konflikitubermuladarikota Ambon danmembiashinggakeWaesaladanAlangAsaude. Namun, realitaskonflikitutidakselamanyamenunjukansisikonfliksaja.Implisit di balikitu, sebenarnyaadakekuatan-kekuatan integrative sebagaibentukperlawananterhadaprealitaskonflik yang adadansebagaiupayabertahanhidupdarikehancuran yang terjadi.Pascakonflik, berbagaiupayatelahdilakukan demi mendamaikanpertikainanantarumatberagamaini.mulaidari dialog hinggasegregasipemukimanberdasar agama.
Segregasi itupunterjadi di AlangAsaudeatas dasar usaha pemisahan diri dalam hal mengurangi potensi pemicu  terjadinya konflik.Dalamhalini, masyarakat Islam di AlangAsaudeakhirnyamemisahkandiridenganmasyarakat yang beragama Kristen.Merekamenyebarkedaerah-daerahislamterdekat, sepertiHanunu, TatingdansalahsatunyaadalahWaesala. Sedangkanmasyarakat yang beragama Kristen tetapmenetapdanmelakukanperluasanwilayah di daerahtersebut.Artinyaadapemisahanantara agama Islam ddengan agama Kristen di sini, yakniWaesalasebagaidaerah yang beragama Islam danAlangAsaudesebagaidaerah Kristen
Walaupun tersegregasi, Namun, pluralisme beragama di keduadaerah ini (Waesala dan Alang Asaude) terlihat cukup jelas. Kejelasan pluralisme beragama di kedua daerah ini dapat dilihat dari cara berinteraksi dan bersosialisai. Masyarakat Islam di Waesala menghormati masyarakat Kristen di Alang Asaude, sebaliknya masyarakat Kristen di Alang Asaude menghormati masyarakat Islam di Waesala. Kedua daerah ini (Waesala dan Alang Asaude) saling mendukung dan menghargai baik dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik maupun agama.
Orang yang beragama Islam dapat melanjutkan sekolahnya di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Alang Asaude dan yang beragama Kristen dapat melanjutkan sekolah di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Waesala.  Masyarakat Alang Asaude dan Waesala juga saling membantu satu sama lain. baik dalam bidang sosial ekonomi, bekerja sama dalam persahabatan muda-mudi, dalam bidang politik serta turut menghadiri dan menghargai perayaan-perayaan hari besar keagamaan. Masyarakat kristen Alang Asaude biasaberkunjungke Waesala ketika harirayaIdul Fitri maupun Idul Adha, sebaliknya masyarakat Islam Waesala biasabersilaturahhim ke Alang Asaude ketika Natal. Sekalipundemikian, namuntetapadapemisahanantarakebiasaandenganhalintimdari agama.Persoalan agama adalahhal yang sakralsehinggatidakdapatdisatukandenganbudayaataukebiasaanmasyarakatsetempat.
Itu sebabnya didalam buku “Prospek Pluralisme Agama di Indonesia” dikatakan bahwa pluralisme beragama tidak sama dengan mengatakan bahwa “semua agama adalah sama” juga berbeda sama sekali dengan yang dimaksud merelatifkan agama. Dalam pluralisme agama, setiap orang diberi kebebasan untuk percaya kepada dan menjalankan tradisi keagamannya yang menjadi sumber kebaikan, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian, bukan sebaliknya. Dalam pluralisme agama, orang diajak tidak hanya untuk menghormati agama lain atau orang yang beragama lain, tetapi juga kesediaan untuk berlaku adil kepada orang lain, menciptakan perdamaian dan saling menghormati.
Pluralisme agama, tidak saja mengenai kuantitas atau kedaan penduduk Indonesia bahkanAlangASaudedanWaesala di Maluku. Pluralisme agama terdiri dari latar belakang agama dan etnis yang berbeda, tetapi mengandung makna, nilai, spiritualitas kehidupan, sehingga bila menyebut “pluralisme agama” disana ada sesuatu yang dimaknai secara substansial, ada hal yang yang mengandung way of life (jalanhidup) warga masyarakat yang berbeda-beda dalam latar belakangnya. Seperti halnya masyarakat Islam Waesala dan masyarakat Kristen Alang Asaude yang memiliki berbagai perbedaan dari segi pengalaman, pemikiran (gagasan), adat dan budaya serta pemukiman yang tersegregasi, semua itu merupakan jalan hidup.
Untukitu, istilah pluralisme agama juga adalahsoal keberbagaian dalam perbedaan yang tidak statis, tetapi hidup dan menghidupkan, berkembang dan berada dalam proses perubahan yang berlangsung di masyarakat. Pluralisme, yang daripadanya  mengalir nilai-nilai untuk kepentingan demokrasi, kepentingan keadilan dan perdamaian serta kesejarteraan hidup masyarakat. Tiga hal penting yang seharusnya menjadi dasar penghayatan agama oleh setiap orang adalah toleran, moderat dan akomodatif.

Kamis, 11 September 2014

Hidupmu Tak Tergantung Tiga Koma

Add caption
Sebagai anak negeri, aku sangat beruntung diberikan kesempatan menyicipi bangku perkuliahan ke jenjang paling tinggi, yaitu S-1. Walaupun begitu, ku sadari, gelar yang kusandang kelak, tak akan memberikan arti apa-apa bagiku selain suatu prestise dan pengakuan atas keilmuan yang kumiliki tidak lebih. Diluar sana, masih banyak anak-anak negeri yang saat ini masih bergulat mencari cara bagaimana mereka dapat menyicipi bangku sekolah dengan kualitas yang baik dan murah, walaupun impian untuk menjadikan pendidikan di Indonesia menjadi gratis adalah hal yang sangat mungkin. Anak-anak yang beruntung, mereka yang dapat mengenyam pendidikan dengan biaya tinggi, yang dibiayai oleh orang tuanya, pun masih banyak melakukan sikap-sikap tidak amanah akan tugasnya sebagai seorang anak negeri.

Beberapa pertanyaan pun bermunculan bagaimana andai kata aku dapat diberikan kesempatan untuk mengecap pendidikan jenjang tinggi di salah satu universitas di eropa dan bekerja disalah satu grup penelitian yang memiliki atmosfir riset yang sangat bagus. Salah satu hal yang menarik dari sekian banyak dugaan mereka adalah bahwasanya pastilah aku memiliki IPK diatas tiga koma lima sekian untuk mendapatkan beasiswa ini. AKU JAWAB DUGAAN ANDA UNTUK IPK-KU ADALAH SALAH.

Tidak aku pungkiri bahwa IPK menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan seorang mahasiswa dalam menjalani pendidikannya di bangku perkuliahan, namun yang sering kutanyakan adalah apakah IPK menjadi jaminan masa depan seorang manusia? IPK hanya menjadi salah satu tolak ukur yang dinilai dari satu hari kita mengerjakan soal-soal ujian.
 

Tapi, jangan pernah berpuas dengan yang ada, kejarlah tiga koma itu kalau memang bisa.

Dalam hidup ini, seperti yang disampaikan oleh salah satu teman, haruslah dipandang tidak seperti didalam kotak. Dimana kita terkungkung pada kesombongan yang dimiliki dengan IPK tiga koma, dan tidak melihat aspek lain yang justru menjadi sangat berperan dalam hidup kita nanti.

Oleh karena itu, aku tidak sejalan dengan konsep bahwa hidup itu hanya sekali, tapi hidup ini adalah untuk hidup yang akan datang, dan itu sama sekali tidak tergantung kepada TIGA KOMA kita.Jangan pernah merasa rendah diri dengan nilai dua koma yang kita miliki dengan kejujuran, yang kita raih dengan segala keterbatasan kita, dan hargai diri sendiri dengan tidak bersumpah serapah mengapa anda ditakdirkan dengan tidak dengan tiga koma. Otak dan akal pikiran yang dikarunia oleh Allah, tidak pantas dihargai dengan hanya tiga koma. Teruslah bermimpi dan raih setiap mimpi yang telah kita miliki.

“ kita di tak dirkan untuk sukses, karena sukses adlah milik kita “
Dari berbagai sumber
n.Arul

Jumat, 22 Agustus 2014

MAHASISWA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL



Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan dari suplemen utama, yaitu mahasiswa. Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini cenderung berpusat pada kehidupan mahasiswa. Hal ini sebagai konsekuensi logis agresivitas mereka dalam merespon gejala sosial daripada kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.
Akan tetapi fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa derap modernisasi di Indonesia dengan pembangunan sebagai ideologinya telah memenjarakan mahasiswa dalam sekat insitusionalisasi, transpolitisi dan depolitisi dalam kampus. Keberhasilan upaya dengan dukungan penerapan konsep NKK/BKK itu, pada sisi lain mahasiswa dikungkung dunia isolasi hingga tercabut dari realitas sosial yang melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran kemasyarakatan yang semestinya diambil. Mahasiswa pun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan sebaliknya bersikap apolitis.
Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa dalam merespon gejala sosial yang dihadapinya, karena disamping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis masyarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran ideal seperti itu, semestinya mahasiswa mahasiswa dapat mengambil peran kemasyarakatan yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus dan masyarakat.

A.    MAHASISWA SEBAGAI “AGENT OF CHANGE
Sejak dahulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan dan dalam setiap kabangkitan dan dalam setiap kebangkitan pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Preseiden RI pertama ir. Soekarno sebagai tokoh naionalis juga telah melakukan pembenaran terhadap urgensitas pemuda dalam sebuah kebangkitan dengan pernyataannya yang mengatakan bahwa “berikan kepadaku seratus orang tuo akan kugoncangkan Indonesia, dan berikan kepadaku sepuluh pemuda saja akan kugoncangkan dunia”. Pernyataan itu sekaligus memberikan pemahaman dan keyakinan kepada kita bahwa pada hakekatnya masa depan suatu bangsa terletak ditangan pemuda.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa perjalanan suatu bangsa dalam konteks peradaban tidak lepas dari lakon gerakan pemuda. Gerakan pemuda dimanapun di dunia ini sangat menentukan kemajuan suatu bangsa, karena apabila suatu bangsa memiliki generasi muda yang berkepribadian luhur, mempunyai kualitas iman dan ilmu, maka bangsa inilah dimasa yang akan datang memegang kendali dan bukan tidak mungkin akan menguasai peradaban.
Mahasiswa sebagai simbol dari kehidupan pemuda dengan corak kebudayaan yang otonom dengan sendirinya akan membedakan dirinya dengan masyarakat lainnya. Mahasiswa adalah kelompok lapisan masyarakat yang dalam jajaran stratifikasi sosial memiliki kelas khusus. Kalau diperbincangkan senantiasa menjadi tema menarik dan aktual. Betapa tidak, ketika oran menyentuh sebuah pergerakan transformasi sosial, maka sadar atau tidak, langsung berkorelasi dengan dinamika kehidupan mahasiswa, sehingga dalam konteks kesejarahan setiap perubahan yang terjadi pada setiap Negara dibelahan dunia yang berorientasi pada perbaikan, mahasiswa terdokumentasi dengan tinta emas. Dari kondisi tersebut, maka sangatlah pantas jika dikemudian hari mahasiswa mendapat anjungan heroik : “mahasiswa adalah hati nurani masyarakat, mahasiswa adalah pemimpin dimasa yang akan datang, dan sebagainya”. Sehingga mungkin berlebihan kalau dikatakan : “mahasiswa ibarat dewa penyelamat” yang berjasadkan kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Simbol kemahasiswaan yang melekat pada dirinya akan membawa cirri khas tersendiri untuk tampil di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam diri mahasiswa akan dilekatkan berbagai stigma. Piramida Maslow dalam posisi yang ideal dimana mahasiswa tersebut menjadi jembatan atas aspirasi dari kaum akar rumput (masyarakat bawah) dengan penentu kebijakan yaitu kaum elitis. Oleh karena itu, jelas bahwa keberadaan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi mengemban tanggung jawab sosial dari masyarakat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seperti apa tanggung jawab yang harus diemban oleh mahasiswa?
Posisi seorang mahasiswa sangatlah strategis untuk dimanfaatkan, dimana mahasiswa mempunyai peluang untuk menjadi salah satu control power terhadap kebijakan-kebijakan kaum elitis dalam memberikan respon terhadap aspirasi masyakat awam. Sangat dipahami bahwa terkadang kebijakan elitis yang lahir tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Terhadap fenomena ini, mahasiswa harus muncul sebagai penjembatan dan berfungsi sebagai Social Control (control sosial), Agent Of Change (Insan Pembaharu/Perubahan), dan Change Of Development. Perlu di ingat bahwa tanggungjawab sosial mahasiwa dalam mengontrol berbagai kebijakan elitis bukan hanya pada aspek politis, akan tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu mengakomodir dan memberikan respon secara general terhadap keseluruhan peraturan dalam berbagai aspek kehidupan.
Mahasiswa haruslah peka dan senantiasa tanggap terhadap setiap kebijakan yang ada, termasuk isu akan diberlakunya Undang-Undang BHP di Perguruan Tinggi. Namun tafsiran peran dan fungsi tersebut mengalami kekeliruan. Aspirasi kepentingan selalu disalurkan dalam bentuk demonstrasi dan terkesan anarkis. Gerakan dalam rangka pembaharuan dan perubahan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat adalah sesuatu yang sah, akan tetapi satu hal yang perlu di ingat oleh mahasiswa adalah bahwa dalam menyampaikan aspirasi harus senatiasa berdasarkan pada azas logika, etika dan estetika.
Secara keseluruhan, tidak semua mahasiswa bisa mengemban tanggung jawab sosial seperti yang telah dikemukakan di atas. Penyebabnya adalah karena karakteristik dari setiap mahasiswa itu berbeda-beda. Dalam kategorisasi karakter mahasiswa, sekurang-kurangnya terdapat tiga jenis mahasiwa, antara lain;
1.      Mahasiswa Passifis, adalah bentuk mahasiswa yang tidak mau peduli terhadap orang lain, cenderung cuek dan apatis,
2.      Mahasiswa Akademis, adalah mahasiwa yang menggunakan parameter keberhasilan dengan angka dan nilai (IPK) yang tinggi, selesai kuliah dengan cepat, sehingga waktunya dihabiskan untuk kuliah secara monoton tanpa menimbulkan simpati dan empati dalam dirinya terhadap orang lain dan realitas eksternal mereka. Jenis mahasiswa ini setelah menyelesaikan studinya sering disebut sebagai “sarjana karbitan”; dan
3.      Mahasiswa Aktifis, adalah mahasiswa yang kehadirannya dalam sebuah perguruan tinggi bukan semata-mata menjadi pecundang-pecundang mata kuliah denga akreditasi “Cumlaude”. Akan tetapi mereka mempunyai kepedulian terhadap realitas eksternal mereka, tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai mahasiswa (kuliah).
Dari ketiga karakter mahasiwa tersebut diatas, maka sudah sangat jelas bahwa mahasiswa yang akan mampu memegang amanah menjalankan tanggung jawab sosial adalah mereka yang termasuk dalam komunitas mahasiswa aktifis. Hal ini disebabkan karena adanya kesadaran mereka untuk memposisikan diri bukan semata-mata sebagai seorang egaliter yang sangat egois terhadap status yang melekat pada dirinya sebagai mahasiswa yang harus dilayani oleh orang tuanya dan masyarakat yang memberikan amanah kepada mereka. Akan tetapi lebih dari itu seorang aktifis mampu memadukan antara kepentingan dirinya sebagai aksentuasi dari amanah orang tuanya dengan realitas di luar dirinya.

B.     PERAN STRATEGIS MAHASISWA
Dalam proses perubahan sosial dan kebudayaan mahasiswa memiliki posisi dan peranan yang essensial. Ia sebagai transformator nilai-nilai dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya dan merintis perubahan dalam rangka dinamisasi kehidupan dalam peradaban yang sedang berjalan. Kalau kita percaya masa kini adalah proses masa lalu yang mendapat pengaruh dari cita-cita masa depan, maka kedudukan dan peranan mahasiswa sebagai transformator nilai dan inovator dari perkembangan yang berorientasi ke masa depan, jelas pada bahwa mahasiswa harus menjadi semangat yang hidup dalam nilai-nilai ideal, dan membangun subkultur serta berani memperjuangkan.
Sebagai langkah taktis dan preferensi pengembangan ke depan, mahasiswa harus memiliki 4 kekuatan :
1.      Kekuatan Moral
2.      Kekuatan Kontrol Sosial
3.      Kekuatan Intelektual
4.      Kekuatan Profesional
Oleh karena itu mahasiswa harus berani mengambil peran-peran strategis tersebut di atas. Sebagai kekuatan moral dan Kontrol sosial, mahasiswa harus mampu bersentuhan dengan aksi-aksi pembelaan kaum tertindas. Pada tataran mikro secara aktif menjadi kelompok penekan (pressure group) terhadap kebijakan refresif di tingkat kampus. Pada tingkat makro, mampu melakukan advokasi terhadap masyarakat yang terpinggirkan seperti nelayan, buruh, petani, anak jalanan, dan PSK.
Mahasiswa sebagai kekuatan intelektual harus mampu melakukan pengembangan dan pembangunan komunitas intelektual (intellectual community) dengan melakukan kajian-kajian strategis dan membentuk kelompok-kelompok studi sebagai sebagai basis pembentukan reading and intellectual society serta penciptaan kultur akademis dengan menciptakan hubungan yang egaliter antara dosen dan mahasiswa.
Sebagai bagian dari intellectual community mahasiswa menduduki posisi yang strategis dalam keterlibatannya melakukan rekayasa sosial menuju independensi masyarakat, dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam posisinya sebagai komunitas terdidik, mahasiswa merupakan salah satu kunci penentu dalam transformasi menuju keadilan dan kemakmuran bangsa, di samping dua kelompok strategis lainnya yaitu kaum agamawan dan masyarkat sipil (Madani) yang mempunyai kasadaran kritis atas situasi sosial yang sedang berlangsung saat ini.
Secara sederhana posisi mahasiswa bisa kita gambarkan sebagai sosok yang berada di tengah level. Di masyarakat menjadi bagian masyarakat, di kalangan intelektual mahasiswa juga dianggap berada diantara mereka. Dengan kata lain keberadaan mereka di tengah-tengah level apapun mempunyai nilai strategis.
Disampaikan pada Orentasi Pengenalan Akademik (OPAK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon 2010

Lembaga Pers Mahasiswa-LPM Lintas IAIN Ambon