ALAM diciptakan beserta dengan segala isinya, termasuk manusia yang diberikan akal untuk dapat menghargai sesama manusia.
Manusia memiliki tugas untuk mengabdi bukan hanya kepada Allah Swt semata, tapi juga mengabdi sesama manusia.
Sesama manusia, pengabdian itu diberikan dalam bentuk menghargai orang lain, bukan men-Tuhan-kan. Selain menghargai orang lain, manusia juga harus menyadari dirinya, bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka sebagai manusia harus saling mendorong dan memback-up ketika diberikan tugas dan amanah dalam melakukan sesuatu. Bukan saling menjatuhkan atau mencari kesalahan. Karena mencari kesalahan dan menyalahkan orang lain, hanya akan menempatkan seseorang itu pada posisi yang paling hina.
Sebagai manusia yang diberikan akal untuk melihat dan memandang orang lain pada posisi kemanusiaannya. Tak sepatutnya kita mengkerdilkan orang lain, saat berada pada posisi paling mewah. Harusnya kita menyadari, bahwa keberadaan kita pada kemewahan, justru mempercepatkan kita pada ruang kenistaan, dan kerapuan.
Kita sepatutnya menjaga amanah yang diberikan dalam bentuk harta, jabatan, pangkat, bahkan suku, ras dan golongan, termasuk agama.
Kita telah memilih jalan mana untuk dilewati. Setiap pemilihan jalan tentu ada lika-likunya. Kendati demikian sulit jalan yang kita lewati, bukan berarti kita harus menempati orang lain pada jalan yang sulit kita lewati itu. Justru, bila kita telah mampu melewati jalan yang sulit, maka kita harus bisa membebaskan orang lain dari kesulitan, ketika melintas di antara kesulitan yang pernah kita lewati.
Kehadiran kita sebagai manusia di muka bumi, bukan lain sebagai penerang arah, untuk lintasan yang kita lewati tidak berkelok terus. Untuk itulah, kita diberikan akal agar bisa melewati lintasan yang suram. Lintasan suram yang telah kita lewati, sepatutnya kita benahi, sehingga ketika ada orang lain yang melintas di atasnya, ia tidak terjebak dan terjatuh seperti saat kita melewati.
Di sini, sangat jelas bahwa fungsi manusia itu untuk memberikan penerang sesama manusia lain, bukan membuat kubangan untuk menjatuhkan orang lain.
Sikap pena kita kadang membuat jembatan yang justru kelak menjadi rapuh saat dilintasi. Apabila jembatan yang kita buat dijaga dan bisa menyelamatkan orang lain saat melintas, maka itulah yang kita maksud sebagai manusia yang memanusiakan.
Kita tak berasal dari mana, dan tidak pula dari unsur mana. Semua bermula dari saripati tanah. Di sanalah, kita dipilih. Kita bermula dari sesuatu yang hina. Karena itu, sebagai unsur yang hina, dan diangkat kembali derajatnya, tak sepatutnya kita saling menghinakan.
Alibi tulisan ini, bukan untuk saling menjust, tapi, sebagai manusia sepatut kita tidak boleh lupa, bahwa kita hanyalah titipan. Kapan dan di manapun, kita bisa rapuh. Sekalipun harta dan tahkta bergelimang di atas pundak.
Agar tak menjadi lupa, maka perbiasakan untuk melihat dan menempati orang lain pada posisi yang sama. Kekayaan dan kelebihan hanya bersifat sesaat. Kekayaan, kemampuan dan skill tak berlaku kekal. Kalau saja semua itu kekal, maka tak ada umur yang panjang. Kenyataannya, tak ada yang melewati masa hidup lebih dari dua abad. Semua berakhir secara dramatis, kendati harta bergelimang.
Justru, mereka yang memiliki harta yang bergelimang kadang berakhir secara tidak wajar. Kita memilih jalan mana untuk melewati sisa usia yang diberikan Tuhan.
Sebaga manusia, sepatutnya kita ikut berbagi dan merasakan derita orang lain. Kesederhaan untuk membagi dengan orang lain, merupakan roh dari kehidupan manusia. Karena, asalnya sama. Di samping hina, ada yang tak menikmati sesuap nasi. Ada yang merindukan panggang daging. Kita bahkan tak memiliki alibi untuk membagi rasa kenikmatan. Selayaknya, sebagai manusia yang menyadari akan hal itu, maka tak wajar kalau membiarkan penderitaan ini terus hidup.
Segalanya dihabiskan untuk dinikmati secara sendiri. Seolah, tak pernah terbayang ketika seseorang berada di atas takhta, harta dan kejayaan. Ia seperti lupa, bahwa pusarannya dibentuk orang lain. Lalu, di liang mana kita ditempatkan dengan semua harta, dan kejayaan, bila kelak jasad hanya kaku dan membisu.
Berbalik ke belakang, menengok-lah ke samping, karena di sana, ada orang yang menanti dalam harapan. Ia tak membutuhkan sesuapan nasi, tapi tegur sapa dengan senyum, akan membuatnya bangkit dari kekakuan dan kebisuan.
Bila engkau hari ini diberikan kecerdasan secara formal, karena terlahir dan besar di atas pusaran pendidikan dan strata tinggi, maka tidak sepatutnya strata itu membuat engkau untuk menutup mata dari orang lain. Seolah engkau yang paling tercerdas dan terpandai. Padahal, apapun yang engkau miliki tak berlaku kekal.
Hanya menunggu waktu dalam hitungan detik, masa dan kejayaan itu akan rapuh. Untuk itu, sepatutnya semua yang telah didapatkan disyukuri__dan kalaupun dilebihkan oleh Allah Swt, maka dibagikan agar terus mengalir kepada orang lain.
Kita bisa bayangkan saat air diciptakan untuk mengalir di atas arsnya. Air tak pernah mengeluh untuk berbagi kepada sesiapapun yang dilewati. Air melewati arsnya dengan ruang dan waktu yang sempit. Dihambat dan dicegat dengan bentuk apapun, air tetap berusaha untuk berbagi dengan orang lain, sesuai sifatnya yang suka berbagi.
Maukah kita memilih jalan berbagi dan tak menjatuhkan orang lain.
Mari kita mengajak orang dalam kekenyangan, agar tidak melihat orang lain kelaparan.
Bila kita berada di atas kendaraan roda dua, maka sesekali tidak melajukan kendaraan di samping pejalan kaki.
Bila kita berada di atas kendaraan roda empat, maka sesekali berhentilah untuk menegur sapa.
Bangunlah kesadaran kita, bahwa semua itu hanyalah titipan yang bersifat sementara. Tak ada yang kekal.
Kita tentu tak lupa, memilih di pusaran mana akan diletakkan liang jasad kita;
Catatan tak bertua; Ismail Hehanussa Bin Hi Hud Hehanussa/Lussy.
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak kata mu Sobat Lintas,
salam ...