Sabtu, 03 Januari 2015

Renungan Akhir Tahun 2014: “Media sebagai alat Pendidikan Kritis dan Kematangan Demokrasi Indonesia 2015”


Sebentar lagi kita tengah memasuki awal tahun baru 2015, mengawali peringatan tahun baru di bangsa ini, kita ternyata lebih dulu diberi kado tahun baru 2015 yang paling istimewa kurang dari dua bulan menjelang tahun baru. Kado ini tidak lain adalah pelantikan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI yang baru, kado yang berimplikasi langsung terhadap sikap optimis dan pesimis kita bangsa Indonesia yang menerimanya.

Ilustrasi
Pengaruh isi kado ini pun mulai terasa bagi kemeriahan memasuki tahun 2015, yang utamanya bagi pendidikan dan demokrasi di Republik ini. Beberapa catatan menarik yang sempat saya baca tentang menatap Indonesia tahun 2014 oleh kolumnis di media harian Kompas menjadi rujukan dalam perenungan awal saya tentang Pendidikan dan Demokrasi yang hendak saya utarakan dalam kesempatan ini.


  • Demokrasi Indonesia dan Masyarakat Belajar (Learning Sociaty)
Kado yang kita terima ini sejatinya adalah hasil produk demokrasi yang secara bermasyarakat kita bungkus dengan pilpres kemarin dan akhirnya kita nikmati secara sendiri-sendiri sebagai anggota masyarakat di bangsa ini yang sedang menuju kematangan demokrasi. Kemeriahan menyambut 2015 ini sudah diawali sejak 20 Oktober 2014 beberapa bulan lalu. Sebagai masyarakat yang menuju usia matang demokrasi, saya amati mayoritas kita mulai sadar seumpama bentuk partisipasi kemeriahan hari raya suci Idul Fitri dimana seluruh anggota keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk dinikmati secara bersama-sama pula.

Dharmasaputra (2014: 187) dalam Kompas Media Nusantara mengutip pendapat Jack Snyder yang menyebutkan salah satu ciri sebuah Negara yang sedang menuju demokrasi (democratizing states) bertransisi menjadi Negara yang demokrasinya matang (mature democracies) biasanya terjadi setelah dua kali pergantian kekuasaan. Selanjutnya, saya amat sependapat dengan Dharmasaputra bahwa Indonesia sejak 1998 menjalankan pemerintahan lebih demokratis setelah hampir 30 tahun dibawah rezim otoriter, berarti seharusnya juga saatnya untuk bertransformasi dari Negara sedang menuju demokrasi menjadi Negara matang berdemokrasi.

Pendapat tersebut akan sejalan manakala kita konsisten dalam mengasumsikan Indonesia sebagai manusia usia remaja akhir yang senantiasa belajar menuju usia kematangan, maka dapat kita konversikan usia Bangsa kita ini dalam perkembangan sosioemosi yang berada pada tingkat pencapaian identitas. Menurut James Marcia (1991) mengidentifikasi empat status identitas dimulai dari penutupan dini, difusi identitas, moratorium, dan pencapaian identitas. Pencapaian identitas menandakan keadaan konsolidasi identitas dimana remaja telah mengambil keputusan mereka sendiri dengan sadar dan jelas tentang pekerjaan dan ideologi. Orang tersebut yakin bahwa keputusan ini diambil secara otonom dan bebas, dan bahwa hal itu mencerminkan kodrat dan komitmen sejati batinnya yang dalam. Pada masa remaja akhir (usia 18 sampai 22 tahun), kebanyakan orang telah berkembang status pencapaian identitasnya. Namun, perkembangan emosi remaja tampak terkait dengan status identitas mereka. Misalnya tingkat kecemasan cenderung paling tinggi bagi remaja dalam moratorium dan paling rendah bagi remaja dalam penutupan dini (Slavin, 2011: 111-112).

Mengacu pada pengkonversian di atas, sejatinya Indonesia yang berdemokrasi telah sampai pada usia kematangan. Kado yang dibuat ini pula dapat menjadi penanda bahwa pendidikan demokrasi Indonesia mulai membasis pada masyarakat secara mayoritas, memang terkesan berlebihan dan tentunya pendapat saya ini boleh diverifikasi lebih jauh lagi dari berbagai sudut pandang diantaranya teori Semiotika  dan berbagai analisis data lapangan tentang kecenderungan pemilih yang cerdas dan sadar untuk memilih pasangan Jokowi-JK.

Terlepas dari pendapat saya tersebut, harapan dari Dharmasaputra (2014) dalam opininya pada paragraf terakhir yang menyatakan tahun 2014 meskipun tahun pertarungan politik semoga bukanlah tahun yang penuh pertarungan untuk saling menghancurkan, tetapi hanya kompetisi untuk melanjutkan yang terbaik dan bisa mempersatukan bangsa ini. Harapan ini sepertinya mulai terwujud memasuki awal tahun 2015 ini, kita dapat melihat informasi di berbagai media semenjak Prabowo mengucapkan selamat kepada Jokowi-JK hingga penenggalaman Kapal pencuri ikan di laut Indonesia oleh gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dimana semua tindakan ini kian mencerminkan kesatuan dan persatuan Indonesia.

Perlu juga kita menguji kado tahun baru 2015 ini, apakah memang kado ini hasil dari “masyarakat belajar” (learning society) ataukah ia masih sebatas kado manusia remaja yang saling jatuh cinta dan memberi bingkisan pada ulang tahun pacarnya, sehingga kado ini terasa amat sangat individualis. Pada prinsipnya, yang dimaksud pendidikan berbasis masyarakat tertuju pada pertanyaan seberapa kritis masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi? Untuk menjawab hal tersebut, masyarakat Indonesia yang sudah terdafatar pada DPT (Daftar Pemilih Tetap) pilpres lalu sedapat mungkin dipastikan memilih Jokowi-JK bukan berada pada kesadaran naif dan mistik, tetapi lebih pada kesadaran kritis sebagaimana yang diinginkan Paulo Freire (1921-1997) tokoh pendidikan kritis humanism radikal asal Brazil yang kebetulan tanggal kematiannya sama dengan tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh pendidikan Indonesia yakni 2 Mei dan diperingati sebagai hari pendidikan di Indonesia.

Dari media pulalah kita dapat mengikuti sakralitas masyarakat yang dominan memilih Jokowi secara pribadi, bukan JK. Jokowi di beberapa tempat dianggap sebagai ratu adil, di beberapa kesempatan dihormati secara berlebihan saat air bekas cucian kaki direbut dan digunakan untuk membasuh wajah. Sementara itu, sebagaimana yang sudah saya sampaikan sebelumnya tentang ucapan selamat oleh Prabowo hingga penenggelaman kapal ikan nelayan asing, juga kenaikan BBM dan reaksi kelas menengah termasuk Mahasiswa terhadap kebijakan Jokowi-JK, justeru membuktikan bahwa Jokowi-JK secara berpasangan mulai diterima masyarakat Indonesia yang sadar usia berada pada pencapaian identitas matang demokrasi. Selanjutnya akan bermakna paradoks mengatakan bahwa salah satu produk demokrasi adalah terbentuknya pemerintahan Jokowi-JK pasca dua kali pemilu semenjak 1998 benar-benar menunjukkan kematangan demokrasi jika ditinjau dari masyarakat belajar yang sudah belajar pendidikan kritis. Saya sepakat Indonesia tengah matang demokrasi meskipun tidak secara total menjalankan tata kelola pendidikan kritis yang massif di basis masyarakat, sebab faktanya keberpihakan media di Indonesia yang memiliki cakupan cukup luas sampai di daerah terpencil untuk menanamkan kesadaran kritis terhadap pemilih di pilpres lalu berkaitan dengan beberapa persoalan yang terjadi pada orde baru. Sebaliknya anda berpikir di pihak yang mana? Saya persilahkan merenungi sendiri di malam tahun baru ini.

  • Dialektika “Masyarakat Belajar” (Learning Sociaty) terhadap Pendidikan dan Demokrasi lewat Media
Dari segi Filsafat Pendidikan, Sudrajat (2008) mengatakan bahwa terbentuknya masyarakat belajar diawali oleh individu pembelajar. Jika setiap orang di suatu negara sudah tumbuh kesadaran dan kemauannya untuk belajar, maka di sinilah mulai muncul masyarakat belajar. Dalam masyarakat belajar, yang melakukan perbuatan belajar tidak hanya kalangan anak-anak dan remaja, tetapi orang dewasa pun melakukan usaha belajar hingga sepanjang hayatnya.

Adapun tindakan unjuk rasa memprotes kenaikan BBM dipahami sebagai bentuk kecemasan seperti yang dikatakan Marcia (1991) dengan begitu apabila Indonesia kita sepakat sebagai manusia yang baru beranjak meninggalkan usia remaja akhir yang mulai menuju usia matang demokrasi, adalah hal wajar dalam dialektika pencapaian identitas. Sehingga, bagi mereka para aktivis demokrasi atau siapa saja yang menginginkan terbentuknya “masyarakat belajar” yang belajar pendidikan demokrasi sebaiknya meninggalkan pendekatan pedagogi dalam belajar demokrasi jika tidak ingin Indonesia kembali seperti anak kecil yang baru mengenal cinta monyet. Sudah sepatutnya kita dalam Indonesia usia matang demokrasi ini, membiasakan pendekatan andragogi dalam mewujudkan terciptanya “masyarakat belajar” yang sadar pendidikan demokrasi.

Tahun 2015 ini saya optimis dengan akses informasi yang makin canggih dan menjangkau masyarakat luas, “masyarakat belajar” tidak sulit untuk dicerahkan dengan kesadaran kritis dalam pendidikan demokrasi. Keyakinan saya menguat disebabkan realitas pemahaman Paulo Freire dalam konteks masyarakat Brazil saat itu berbeda cukup signifikan dengan masyarakat Indonesia hari ini, Brazil saat itu dan Indonesia hari ini memiliki komparasi akses media yang berbeda. Kita dapat merasakan dampak sederhana dan tidak dapat mengingkari bahwa arus kebutuhan telephon genggam yang sekaligus dapat memutar siaran TV saat ini sangat banyak dengan harga terjangkau (misalnya merk Cina), bahkan berani saya katakan sudah masuk pada kategori kebutuhan primer untuk kalangan buruh, mahasiswa, masyarakat pinggiran, kepala-kepala suku di pedalaman yang mulai mengenal aksara.

Media, hemat saya secara tidak langsung sementara menjalankan pendekatan andragogi. Pendasaran ini mengacu pada sekurangnya ada 9 pembedaan kedua disiplin pedagogi dan andragogi oleh Malcolms S. Knowles (1970), diantaranya: dalam andaragogi pembelajar disebut “peserta didik” atau “warga belajar”, sementara dalam pedagogi pembelajar disebut “siswa” atau “anak didik”; dalam andaragogi gaya belajar independen, sementara dalam pedagogi gaya belajar dependen; dalam andaragogi belajar terpusat pada masalah kehidupan nyata, sementara dalam pedagogi belajar berpusat pada isi atau pengetahuan teoritis (Danim, 2013: 137-138).

Jelas pada era sebelum 1998, kita dianggap oleh rezim sebagai “anak didik” yang mana pendidikan demokrasi tentang memilih keterwakilan di DPR hanya sebatas teori lalu terindoktrinasi dalam kehendak mencoblos. Ruang ekspektasi terhadap rezim penguasa oleh masyarakat dibunuh secara perlahan menjadi harapan semu semata dan kepuasan menerima apa adanya, akibat dari kontrol media yang begitu ketat. Berbeda dengan sekarang, “warga belajar” secara sadar tercermin pada relawan-relawan Jokowi-JK yang tersebar hampir merata pada daerah-daerah pemilihan.

Akhirnya, ledakan perubahan dan harapan tahun 2015 menjadi lebih baik lagi mulai terdengar jelas. Pesta kembang api sedang bergemuruh di langit Surabaya saat saya menulis bagian terakhir dari perenungan ini, begitu juga ledakan-ledakan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang sementara anda simak di berbagai media. Besar harapan kita semua di tahun 2015 ini semoga Indonesia makin matang dalam berdemokrasi, semoga media tetap dapat menjadi alat perwujudan pendidikan kritis dalam demokrasi Indonesia, dan semoga kebijakan pendidikan di Indonesia tidak mematikan kesadaran kritis. Saya tutup dengan mengucapkan selamat Tahun Baru 2015, makin semangat, makin sabar, dan terus belajar!
 ================================================================


SENARAI PUSTAKA
- Danim, S. 2013. Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta.
- Slavin, E, R. 2011. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT Indeks.
- Sudrajat, A. 2008. Masyarakat Belajar. Dunduh dari https://akhmadsudrajat.wordpress.com tanggal 31 Desember 2014.
- Tim Penyusun. 2014. Tinjauan Kompas Menatap Indonesia 2014; Tantangan, Prospek Politik dan Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Penulis :  Arman Kalean
https://www.facebook.com/arman.kalean

Arman
 

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak kata mu Sobat Lintas,
salam ...