Sebentar lagi kita tengah memasuki awal tahun baru 2015, mengawali peringatan tahun baru di bangsa ini, kita ternyata lebih dulu diberi kado tahun baru 2015 yang paling istimewa kurang dari dua bulan menjelang tahun baru. Kado ini tidak lain adalah pelantikan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI yang baru, kado yang berimplikasi langsung terhadap sikap optimis dan pesimis kita bangsa Indonesia yang menerimanya.
![]() |
Ilustrasi |
Pengaruh
isi kado ini pun mulai terasa bagi kemeriahan memasuki tahun 2015, yang
utamanya bagi pendidikan dan demokrasi di Republik ini. Beberapa catatan
menarik yang sempat saya baca tentang menatap Indonesia tahun 2014 oleh
kolumnis di media harian Kompas menjadi rujukan dalam perenungan awal saya
tentang Pendidikan dan Demokrasi yang hendak saya utarakan dalam kesempatan
ini.
- Demokrasi Indonesia dan Masyarakat Belajar (Learning Sociaty)
Kado
yang kita terima ini sejatinya adalah hasil produk demokrasi yang secara
bermasyarakat kita bungkus dengan pilpres kemarin dan akhirnya kita nikmati
secara sendiri-sendiri sebagai anggota masyarakat di bangsa ini yang sedang
menuju kematangan demokrasi. Kemeriahan menyambut 2015 ini sudah diawali sejak
20 Oktober 2014 beberapa bulan lalu. Sebagai masyarakat yang menuju usia matang
demokrasi, saya amati mayoritas kita mulai sadar seumpama bentuk partisipasi
kemeriahan hari raya suci Idul Fitri dimana seluruh anggota keluarga
mempersiapkan segala sesuatu untuk dinikmati secara bersama-sama pula.
Dharmasaputra
(2014: 187) dalam Kompas Media Nusantara mengutip pendapat Jack Snyder yang
menyebutkan salah satu ciri sebuah Negara yang sedang menuju demokrasi (democratizing
states) bertransisi menjadi Negara yang demokrasinya matang (mature
democracies) biasanya terjadi setelah dua kali pergantian kekuasaan.
Selanjutnya, saya amat sependapat dengan Dharmasaputra bahwa Indonesia sejak
1998 menjalankan pemerintahan lebih demokratis setelah hampir 30 tahun dibawah
rezim otoriter, berarti seharusnya juga saatnya untuk bertransformasi dari
Negara sedang menuju demokrasi menjadi Negara matang berdemokrasi.
Pendapat
tersebut akan sejalan manakala kita konsisten dalam mengasumsikan Indonesia
sebagai manusia usia remaja akhir yang senantiasa belajar menuju usia
kematangan, maka dapat kita konversikan usia Bangsa kita ini dalam perkembangan
sosioemosi yang berada pada tingkat pencapaian identitas. Menurut James Marcia
(1991) mengidentifikasi empat status identitas dimulai dari penutupan
dini, difusi identitas, moratorium, dan pencapaian
identitas. Pencapaian identitas menandakan keadaan konsolidasi
identitas dimana remaja telah mengambil keputusan mereka sendiri dengan sadar
dan jelas tentang pekerjaan dan ideologi. Orang tersebut yakin bahwa keputusan
ini diambil secara otonom dan bebas, dan bahwa hal itu mencerminkan kodrat dan
komitmen sejati batinnya yang dalam. Pada masa remaja akhir (usia 18 sampai 22
tahun), kebanyakan orang telah berkembang status pencapaian identitasnya.
Namun, perkembangan emosi remaja tampak terkait dengan status identitas mereka.
Misalnya tingkat kecemasan cenderung paling tinggi bagi remaja dalam moratorium
dan paling rendah bagi remaja dalam penutupan dini (Slavin, 2011: 111-112).
Mengacu
pada pengkonversian di atas, sejatinya Indonesia yang berdemokrasi telah sampai
pada usia kematangan. Kado yang dibuat ini pula dapat menjadi penanda bahwa
pendidikan demokrasi Indonesia mulai membasis pada masyarakat secara mayoritas,
memang terkesan berlebihan dan tentunya pendapat saya ini boleh diverifikasi
lebih jauh lagi dari berbagai sudut pandang diantaranya teori Semiotika
dan berbagai analisis data lapangan tentang kecenderungan pemilih yang
cerdas dan sadar untuk memilih pasangan Jokowi-JK.
Terlepas
dari pendapat saya tersebut, harapan dari Dharmasaputra (2014) dalam opininya
pada paragraf terakhir yang menyatakan tahun 2014 meskipun tahun pertarungan
politik semoga bukanlah tahun yang penuh pertarungan untuk saling
menghancurkan, tetapi hanya kompetisi untuk melanjutkan yang terbaik dan bisa
mempersatukan bangsa ini. Harapan ini sepertinya mulai terwujud memasuki awal
tahun 2015 ini, kita dapat melihat informasi di berbagai media semenjak Prabowo
mengucapkan selamat kepada Jokowi-JK hingga penenggalaman Kapal pencuri ikan di
laut Indonesia oleh gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti,
dimana semua tindakan ini kian mencerminkan kesatuan dan persatuan Indonesia.
Perlu
juga kita menguji kado tahun baru 2015 ini, apakah memang kado ini hasil dari
“masyarakat belajar” (learning society) ataukah ia masih sebatas kado
manusia remaja yang saling jatuh cinta dan memberi bingkisan pada ulang tahun
pacarnya, sehingga kado ini terasa amat sangat individualis. Pada prinsipnya,
yang dimaksud pendidikan berbasis masyarakat tertuju pada pertanyaan seberapa
kritis masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi? Untuk menjawab hal tersebut,
masyarakat Indonesia yang sudah terdafatar pada DPT (Daftar Pemilih Tetap)
pilpres lalu sedapat mungkin dipastikan memilih Jokowi-JK bukan berada pada kesadaran
naif dan mistik, tetapi lebih pada kesadaran kritis sebagaimana yang diinginkan
Paulo Freire (1921-1997) tokoh pendidikan kritis humanism radikal asal Brazil
yang kebetulan tanggal kematiannya sama dengan tanggal kelahiran Ki Hadjar
Dewantara sebagai tokoh pendidikan Indonesia yakni 2 Mei dan diperingati
sebagai hari pendidikan di Indonesia.
Dari
media pulalah kita dapat mengikuti sakralitas masyarakat yang dominan memilih
Jokowi secara pribadi, bukan JK. Jokowi di beberapa tempat dianggap sebagai
ratu adil, di beberapa kesempatan dihormati secara berlebihan saat air bekas
cucian kaki direbut dan digunakan untuk membasuh wajah. Sementara itu,
sebagaimana yang sudah saya sampaikan sebelumnya tentang ucapan selamat oleh
Prabowo hingga penenggelaman kapal ikan nelayan asing, juga kenaikan BBM dan
reaksi kelas menengah termasuk Mahasiswa terhadap kebijakan Jokowi-JK, justeru
membuktikan bahwa Jokowi-JK secara berpasangan mulai diterima masyarakat
Indonesia yang sadar usia berada pada pencapaian identitas matang demokrasi.
Selanjutnya akan bermakna paradoks mengatakan bahwa salah satu produk demokrasi
adalah terbentuknya pemerintahan Jokowi-JK pasca dua kali pemilu semenjak 1998
benar-benar menunjukkan kematangan demokrasi jika ditinjau dari masyarakat
belajar yang sudah belajar pendidikan kritis. Saya sepakat Indonesia tengah
matang demokrasi meskipun tidak secara total menjalankan tata kelola pendidikan
kritis yang massif di basis masyarakat, sebab faktanya keberpihakan media di
Indonesia yang memiliki cakupan cukup luas sampai di daerah terpencil untuk
menanamkan kesadaran kritis terhadap pemilih di pilpres lalu berkaitan dengan
beberapa persoalan yang terjadi pada orde baru. Sebaliknya anda berpikir di
pihak yang mana? Saya persilahkan merenungi sendiri di malam tahun baru ini.
- Dialektika “Masyarakat Belajar” (Learning Sociaty) terhadap Pendidikan dan Demokrasi lewat Media
Dari
segi Filsafat Pendidikan, Sudrajat (2008) mengatakan bahwa terbentuknya
masyarakat belajar diawali oleh individu pembelajar. Jika setiap orang di suatu
negara sudah tumbuh kesadaran dan kemauannya untuk belajar, maka di sinilah
mulai muncul masyarakat belajar. Dalam masyarakat belajar, yang
melakukan perbuatan belajar tidak hanya kalangan anak-anak dan remaja, tetapi
orang dewasa pun melakukan usaha belajar hingga sepanjang hayatnya.
Adapun
tindakan unjuk rasa memprotes kenaikan BBM dipahami sebagai bentuk kecemasan
seperti yang dikatakan Marcia (1991) dengan begitu apabila Indonesia kita
sepakat sebagai manusia yang baru beranjak meninggalkan usia remaja akhir yang
mulai menuju usia matang demokrasi, adalah hal wajar dalam dialektika
pencapaian identitas. Sehingga, bagi mereka para aktivis demokrasi atau siapa
saja yang menginginkan terbentuknya “masyarakat belajar” yang belajar
pendidikan demokrasi sebaiknya meninggalkan pendekatan pedagogi
dalam belajar demokrasi jika tidak ingin Indonesia kembali seperti anak kecil
yang baru mengenal cinta monyet. Sudah sepatutnya kita dalam Indonesia usia
matang demokrasi ini, membiasakan pendekatan andragogi dalam mewujudkan
terciptanya “masyarakat belajar” yang sadar pendidikan demokrasi.
Tahun
2015 ini saya optimis dengan akses informasi yang makin canggih dan menjangkau
masyarakat luas, “masyarakat belajar” tidak sulit untuk dicerahkan dengan
kesadaran kritis dalam pendidikan demokrasi. Keyakinan saya menguat disebabkan
realitas pemahaman Paulo Freire dalam konteks masyarakat Brazil saat itu
berbeda cukup signifikan dengan masyarakat Indonesia hari ini, Brazil saat itu
dan Indonesia hari ini memiliki komparasi akses media yang berbeda. Kita dapat
merasakan dampak sederhana dan tidak dapat mengingkari bahwa arus kebutuhan
telephon genggam yang sekaligus dapat memutar siaran TV saat ini sangat banyak
dengan harga terjangkau (misalnya merk Cina), bahkan berani saya katakan sudah
masuk pada kategori kebutuhan primer untuk kalangan buruh, mahasiswa,
masyarakat pinggiran, kepala-kepala suku di pedalaman yang mulai mengenal
aksara.
Media,
hemat saya secara tidak langsung sementara menjalankan pendekatan andragogi.
Pendasaran ini mengacu pada sekurangnya ada 9 pembedaan kedua disiplin pedagogi
dan andragogi oleh Malcolms S. Knowles (1970), diantaranya: dalam andaragogi
pembelajar disebut “peserta didik” atau “warga belajar”, sementara dalam pedagogi
pembelajar disebut “siswa” atau “anak didik”; dalam andaragogi gaya
belajar independen, sementara dalam pedagogi gaya belajar dependen;
dalam andaragogi belajar terpusat pada masalah kehidupan nyata,
sementara dalam pedagogi belajar berpusat pada isi atau pengetahuan
teoritis (Danim, 2013: 137-138).
Jelas
pada era sebelum 1998, kita dianggap oleh rezim sebagai “anak didik” yang mana
pendidikan demokrasi tentang memilih keterwakilan di DPR hanya sebatas teori
lalu terindoktrinasi dalam kehendak mencoblos. Ruang ekspektasi terhadap rezim
penguasa oleh masyarakat dibunuh secara perlahan menjadi harapan semu semata
dan kepuasan menerima apa adanya, akibat dari kontrol media yang begitu ketat.
Berbeda dengan sekarang, “warga belajar” secara sadar tercermin pada
relawan-relawan Jokowi-JK yang tersebar hampir merata pada daerah-daerah
pemilihan.
Akhirnya,
ledakan perubahan dan harapan tahun 2015 menjadi lebih baik lagi mulai
terdengar jelas. Pesta kembang api sedang bergemuruh di langit Surabaya saat
saya menulis bagian terakhir dari perenungan ini, begitu juga ledakan-ledakan
kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang sementara anda simak di berbagai media.
Besar harapan kita semua di tahun 2015 ini semoga Indonesia makin matang dalam
berdemokrasi, semoga media tetap dapat menjadi alat perwujudan pendidikan
kritis dalam demokrasi Indonesia, dan semoga kebijakan pendidikan di Indonesia
tidak mematikan kesadaran kritis. Saya tutup dengan mengucapkan selamat Tahun
Baru 2015, makin semangat, makin sabar, dan terus belajar!
================================================================
SENARAI PUSTAKA
- Danim, S. 2013. Pedagogi,
Andragogi, dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta.
- Slavin, E, R. 2011. Psikologi
Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT Indeks.
- Sudrajat, A. 2008. Masyarakat
Belajar. Dunduh dari https://akhmadsudrajat.wordpress.com
tanggal 31 Desember 2014.
- Tim Penyusun. 2014. Tinjauan
Kompas Menatap Indonesia 2014; Tantangan, Prospek Politik dan Ekonomi Indonesia.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Penulis : Arman Kalean
https://www.facebook.com/arman.kalean
![]() |
Arman |
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak kata mu Sobat Lintas,
salam ...